Stop Perang dan Kekerasan dengan Simbol Agama. Setuju?

By Abdul Hafed Hilman Aka Max Fizz

war.jpg

Pertemuan lintas tokoh agama kembali digelar. Kali ini di Jimbaran, Bali, yang berakhir hari Selasa (12/6) lalu. Pertemuan itu dinamai “konferensi religi” dengan tema: Toleransi antaragama: sebuah rahmat bagi semua ciptaan. Yang hadir di antaranya: Gus Dur, Syafii Ma’arif (muslim), Sri Ravishankar (tokoh Hindu dari India), Franz Magnis Suseno, Yoichi Kadawa, dan Rabi Daniel Landez (dari Israel). Salah satu rekomendari dari pertemuan itu: stop peperangan dan kekerasan dengan simbol agama!

Memang, di dunia ini, setiap agama memiliki pemeluk yang fanatik, baik di kalangan muslim, Hindu, Nasrani, juga Yahudi. Begitu fanatiknya, akhirnya satu sama lain saling merasa paling suci di dunia ini. Saya seorang muslim. Soal ketaatan, insya Allah tidak usah diragukan. Namun demikian, biarlah Tuhan yang menilai seberapa tinggi tingkat ketaatan itu.

Suatu ketika, dalam kapasitas sebagai jurnalis sebuah media massa bergenre Islam, saya berdiskusi dengan dua tokoh agama Nasrani: Franz Magnis Suseno (Katolik) dan Pdt. Andreas Tendean (Gereja Koinonia). Dalam sebuah dialog, saya bertanya kepada Romo Magnis (panggilan gaul-nya Franz Magnis Suseno? “Kenapa masih saja selalu ada peperangan dan kekerasan dengan alasan keagamaan?” Jawab Romo Magnis, “karena setiap kitab suci agama-agama samawi memang mendoktrin pemeluknya untuk merasa paling benar, dan secara implisit ‘membenarkan’ terjadinya peperangan untuk membela klaim ‘paling benar’ itu.

Nah, ketika pada tahun 2005 saya ke Ambon untuk melihat dari dekat dampak kerusuhan; saya mencoba menyelami suara-suara nurani (the inner voices) para korban, baik dari kelompok muslim maupun nasrani. Selama berkeliling Ambon, saya ‘dikawal’ dua veteran jagoan perang Ambon, yang satu muslim dan satu lagi nasrani. Warga dari dua kelompok tidak menampik bahwa sewaktu bertempur dulu mereka berada dalam puncak ekstasi keagamaan. Menafikan segala apapun, lupa kawan, lupa teman. Siapapun yang berbeda keyakinan, itulah musuh yang harus dibunuh!!!

Subhanallah, pikir saya. Sedemikian jahatkah ajaran agama kita sehingga menghalalkan membunuh sesama? Usut demi usut, rasa ekstasi dan sentimen keagamaan untuk saling bertempur itu muncul belakangan. Padahal, kata orang-orang Ambon baik yang muslim maupun nasrani, awalnya kerusuhan dipicu oleh keributan dua kelompok preman. Kelompok yang satu, kebetulan mayoritas muslim. Dan, yang satu lagi, juga kebetulan mayoritas nasrani.

Sudah….sudah, nanti review ini melantur ke mana-mana dan akan menyinggung banyak orang. Yang jelas, dalam kasus Ambon, baik warga muslim maupun nasrani, sudah kapok berperang. Kita orang basudara

 

0 comments so far.

Something to say?